Sunday, January 1, 2012

[1-2] Meniti kembali kenangan lama

Masih lanjutan kisah disini, seusai pertemuan, kami memutuskan untuk sedikit membuka kenangan tentang serpong. Kami akan pulang melewati jalur parung menuju Bogor, sehingga ada kesempatan menengok kembali rumah kami dulu. Rumah yang pernah kami tempati di tahun 2002-2005, rumah yang pernah menemani kami dimasa terbaik kami, rumah dimana kami mendapatkan dua lagi putra kami, rumah mungil yang menjadi loncatan kehidupan kami. 

Sepanjang jalan aku dan suami bercerita kepada anak-anak tentang suasana serpong di kala itu, antara tahun 2002-2005. Masih banyak lahan hijau, masih begitu segar, masih sedikit mall dan tempat hiburan disana, dan yang jelas suasana dulu tidak sekusam kali ini.

Banyak , sangat banyak perubahan disana, bahkan beberapa tempat terasa asing bagiku, sekarang sudah sesak terasa, kotor, penuh, dan aku tidak nyaman berada disana saat ini. 

Tidak ada lagi tukang tahu sumedang langganan kami, bengkel yang biasa pun sudah lenyap, rumah makan pinggir jalan itu mungkin sudah berubah dan tidak kami temui lagi disana, tanah rerumputan semua sudah berubah menjadi tempat usaha, area luas sudah berubah wujud menjadi perumahan baru. Serpong benar-benar telah berubah. Tempat mangkal kami di kala sabtu sore, melihat motorace di tanah merahpun sudah lenyap berganti dengan oceanpark, Taman tekno yang dulu sepi sekarang sudah begitu ramai,  benar-benar perubahan besar... 

 Sampailah kami di daerah serpong-nya, Perumahan Amarapura, suami sebetulnya agak ragu untuk mampir, tapi aku sangat antusias dan ingin sekali melihat wujud rumah kami yang saat ini sudah berpindah tangan. Jalan masuk menuju perumahan sudah beton, tidak seperti saat kami dulu, tanah bebatuan yang berkali-kali membuat mobil kijang kami mengalami kerusakan pada bagian kaki-kakinya. Sudah sangat nyaman masuk melewati perumahan penduduk .

Tiba di pintu gerbang, tidak ada yang berubah terlihat dari luar, hanya pintu gerbang yang diganti menjadi lebih besar dan ada penjaga yang lebih siaga. Masuk kedalam, terlihat mesjid tempat dulu Putri belajar mengaji, mesjid sudah berubah sangat bagus, rapi dan nyaman, disebrangnya terlihat para bapak sedang bermain tenis, sama seperti dulu. Perlahan kami menyusuri jalan menuju rumah kami, kami terdiam, antara takut dan bahagia. Kami takut jika harapan kami bahwa rumah eh mantan rumah kami ternyata sudah hancur dan tak terurus, namun kami pun bahagia karena dengan melihat kembali kehidupan dulu, kami memiliki rasa syukur yang dalam, bahwa kami memulai kehidupan kami dari kecil, penuh perjuangan. 

Saat belok pada blok rumah kami, ternyata sangat penuh mobil di kanan kiri jalan, tidak memungkinkan kami melewati mantan rumah kami itu dari arah depan, jadilah kami memutar dan hanya bisa melihat sekilas dari samping dan depan rumah arah samping. Apa yang kulihat sangat mengiris hatiku, rumah itu tidak terurus dengan baik menurut standarku. Perubahan besar adalah dibukanya akses pintu samping, masih dengan warna cat yang sama, semakin kusam dan gelap. Saat melewati rumah, aku hanya bisa melihat sekilas rumah tampak depan, tidak sempat memotret karena posisi tidak memungkinkan, sedangkan mau turun rasanya kurang nyaman. Saat itu mungkin salah satu rumah sedang ada pertemuan, sehingga jalan yang cukup sempit itu menjadi semakin sempit. 

Pintu BRC masih sama, tidak ada perubahan kecuali semakin kotor, aku kecewa... kecewa yang sebetulnya sudah bukan porsiku lagi. Aku melihat wajah suamiku, tampak raut yang sama, kecewa dalam diam.

Mungkin memang tidak selayaknya kami menilai bagaimana cara orang mengurus rumah, tidak sepatutnya pula kami mengharapkan rumah mungil itu berubah menjadi rumah mewah, itu sudah bukan milik kami, kami sudah serahkan sebagian jiwa kami itu dengan akad jual beli yang sah, seharusnya aku melepas itu dengan segala konsekwensinya, rumah itu sudah bukan milik kami, kami bukanlah mereka.

Entahlah, bagi kami, rumah itu adalah pencerminan penghuninya, tidak mengapa rumah itu kecil, kosong, tapi akan terasa beda jika rumah itu memiliki jiwa dan cinta. Didikan kami sejak dulu adalah harus menghargai apa yang kita miliki, jadi apapun milik kami, maka akan kami jaga dengan cinta. Belum sanggup kami memiliki rumah mewah, maka rumah mungil itu harus rapi menurut ukuran kami, rumah itu harus menjadi penyejuk bagi raga lelah kami, rumah itu harus menjadi tempat teduh yang menebar harum tubuh anak-anak kami.

Kami lewati semua dalam diam... kami berungsut pulang..... Namun ada hikmah yang kami dapat, loncatan kehidupan kami , dari sini kami memulai , dan saat ini kami bersyukur....


Bogor, 01 Januari 2012

28 comments:

  1. masih syukur mba... ada bekasnya ..hihihi... daripada rata sama tanah, buat parkiran mobil... hiks

    ReplyDelete
  2. oh iye ye... pastes dirimu waktu itu mellow abis, gw aje msh sensi nih liat rumah gw jadi begono

    ReplyDelete
  3. Kalo rumah keluarga saya yang dulu sekarang udah dibangun lagi sama pembelinya, lebih bagus malahan. liatnya biasa aja soalnya saya masih kecil banget sehingga ga banyak memori yang tersimpan tentang rumah itu.

    ReplyDelete
  4. saya mah masih inget rumah2 yang dulu pernah ditinggalin bareng mamah ayah, cuma emang kadang sentimentilnya beda.

    ReplyDelete
  5. rumah yang pernah ada kisah tertinggal di dalamnya memang kadang menimbulkan romantisme ketika kita melihat dan mengenangnya kembali ya Mbak.. :-)

    ReplyDelete
  6. iya, teringat sehari2nya kita hidup disana, makan, tidur, main... dan disinipun kita sdang membina kisah pula

    ReplyDelete
  7. Aduh ibu, saya protes nih tadi ada yang kelupaan. Di dalam tulisan ibu rumah tersebut tidak terurus dan catnya sudah kusam. Menurut saya mungkin bukan tidak terurus bu. Pengalaman dari rumah saya juga. Biaya mengecat rumah dan tukang mahal bu. Apalagi kalau sudah bocor sana dan sini. Mungkin orang tersebut, tidak ada biaya untuk perawatan rumah. Jadi rumah ibu yang sudah pindah tangan tersebut, tidak terawat. Semoga orang tersebut ada dana untuk perawatan rumah.

    ReplyDelete
  8. iya, makanya saya bilang, saya sesungguhnya tidak punya hak untuk menjudge mereka, karena saya sadar pasti ada alasan untuk itu.
    yang saya ungkapkan hanya perasaan saya, rumah kami pun sekarang catnya sudah kusam, tp rajin kami lap atau sikat....
    saya selalu mendoakan kok ke semuateman2 yang sedang menata rumah smoga sll di lapang kan rizki ..
    trimakasih ya ...

    ReplyDelete
  9. Mbak Eva..aku jd ikut sediiih..

    Rumah cibinong walaupun kita sdh senang dan tenang melepasnya, saat melihat pohon2 pada tumbang, tanaman tidak terurus, huhuhu aku kok sediiih gitu
    Kerasa bgt sedihnya mbak gmn

    Nia aja kl lewat cibinong pengen mampir lewat tapi ga siap dgn kondisi rumah yg nanti akan dilihat

    Mungkin benar seperti kata mbak Eva, lebih baik kita hargai dengan maksimal apa yang kita miliki saat ini..

    ReplyDelete
  10. kemarin jg ragu2, takut ga siap mental, eh bener aja... mungkin krn kita pernah ada didalam situ, terasa ada jiwa yang sedikit tertinggal.

    ReplyDelete
  11. Iya mbak, karena kita pernah ada di dalamnya, mengalami segala suka dan duka, ada jiwa yang tertinggal disana..
    *mendadak mellow

    ReplyDelete
  12. berasa banget melownya baca kisah rumah ini

    ReplyDelete
  13. Saya kok serasa kebawa jalan ke Serpong sih? Sayang amat ya rumah itu. BTW Bogor sekarang juga bikin saya pangling lho. Dulu rumah kak Eva yang sekarang masih perkampungan penduduk desa, di mana saya kadang-kadang jalan kaki hiking dari arah Jembatan Satu Duit yang di pinggiran Pasar Induk Jambu Dua itu ke arah Perumahan Indraprasta terus ke dalam, sesuka hati aja jalannya, nanti tau-tau kok ya bisa nembus ke daerah Baranangsiang yang sekarang jadi Pangkalan Bus Damri.

    Perkembangan suatu daerah memang luar biasa kak Eva.

    Selamat tahun baru dengan semangat baru yang tetap menyala-nyala, ya kak, semoga barokah Allah semakin banyak di tahun ini untuk kak Eva sekeluarga.

    ReplyDelete
  14. idem ama Ira, lebih mellow pas rumahnya udah rata jadi jalan :)
    ALhamdulillah, selalu ada hikmah pada tiap fase kehidupan

    ReplyDelete
  15. @nia : jd perasaan kaya gini masih wajar kan ya... Ga ada maksud menjudge pemilik rumah sih, hny sdikit sedih aja..

    @arni : iya nih, mungkin krn rumah itu a/ tmpt yg mencatat perjalanan hidup, sentimentil jadinya

    ReplyDelete
  16. @bunda julie : oh yayaya bener, kata orang asli sini, daerahku itu jg dulu kaya hutan, skrg sdh full perumahan. Daerh tanah baru smp cimahpar pun skrg mulai full. Betapa pertumbuhan penduduk seiring dg pengurangan lahan hijau. :)

    ReplyDelete
  17. @mb mia: iya mba, kisah hidup, walau cuma 3 th disana, tp ya ada kenangan lah disana. Terutama rasa syukur yg tak terkira, satu babak kehidupan terlewati di rumah ini

    ReplyDelete
  18. rumah tempat saya tinggal di masa kecil masih ada sisa bangunannya... dab memang gak dirawat. mungkin karena mau dialihfungsikan

    ReplyDelete
  19. duh, itu tukang tahu sumedang pindah kemana ya?
    *salah fokus

    ReplyDelete
  20. aahh pembangunan banyak aja perubahan..

    ReplyDelete
  21. @rifky : mo dibongkar total ya..

    @mona : hooh... Tahunya enak (standar sih), cuma dulu suka nongkrong disitu

    ReplyDelete
  22. @mba tin : bener, smua pasti akan brubah, cuma pangling aja kemaren

    ReplyDelete
  23. sktr tahun 2001, pas mau main ke Puspitek, Serpong msh berkabut di siang hari. sekarang?ck,,ck,,ck...

    ReplyDelete
  24. betul, dulu sejuk banget, makanya betah, sekarang... hadeuhhh gersang euy, sayang banget

    ReplyDelete
  25. pangling banget kemarin kesana, sanggat berubah

    ReplyDelete