Monday, October 31, 2011

Hujan

Musim hujan kembali bersua. Memang tidak  boleh dihindari atau disesali, karena ini adalah rizki dari Allah. Namun ya namanya manusia tidak pernah puas, selalu mengeluh, tak ayal hujan pun selalu menjadi alasan untuk berbagai macam hal.

Pagi tadi, Bogor kembali diguyur hujan, suami yang baru pulang dari mesjid tampak kuyup karena tidak siap membawa payung. Istri menggoda, "sudahlah, ga usah kerja, tar juga siswanya pada males dateng kalau hujan begini".  Sejenak kalimat itu memang terlintas seperti candaan, namun akal sehat langsung bekerja, istighfar kembali terucap seraya tatapan mata melihat raut suami yang terlihat tidak suka dengan candaan istrinya.

"hujan itu berkah, kerja ini amanah, jangan jadikan alasan untuk mengkhianati amanah, hanya karena alasan duniawi yang mungkin saja akan menghilangkan berkah dari Allah"

Istri tercenung, menunduk malu karena membiarkan syetan membisikkan kalimat sederhana yang sesungguhnya melemahkan diri. 
"Aku siapkan sekedar sarapan dan minuman hangat ya pa"
Suami tersenyum, membelai lembut rambut tipis sang istri dan kembali mempersiapkan diri untuk bekerja. 

                                           


o00oo

Sang istri kini bertugas menjadi seorang ibu, mempersiapkan anak-anak untuk menuntut ilmu. Sarapan telah sedia, pakaian sudah siap digunakan, hanya memikirkan bagaimana dua bocah lelakinya pergi dalam kondisi hujan. Kembali teringat untuk tidak menyalahkan kuasa Allah, sang ibu teringat pernah memiliki jas hujan untuk masing -masing mereka. 

Membuka laci penyimpanan, dan ternyata ada 2 buah jas hujan berwarna merah jambu, dan satu buah berwarna hijau. Mereka lelaki, semua menolak memakai pink... sang ibu sedikit memaksa dengan dalih itu hanya sebuah warna yang tidak bisa dijadikan simbol dari sebuah feminisme. Tetap menolak, ya sudahlah... solusi terakhir sweter woll plus topi untuk mencegah kepala mereka dari basah.

Ojek dipanggil, dan pergilah mereka teriring doa dari ibunya.

oo00oo

Wah, ternyata ada satu lagi si kecil yang tidak mau tertinggal dari rutinitas pagi. Jas hujan merah jambu dikenakan, dan meminta ijin kepada sang ibu untuk bermain sepeda di tengah derai hujan. Sang ibu hanya tersenyum, sadar bahwa penolakan hanya akan membentengi si kecil dari pengetahuan. Biarkan dia merasakan tetesan hujan diiringi tawa nya mendapati udara yang dingin. 

Sebentar , hanya sebentar telah tampak kebosanan pada wajahnya, sang ibu mengajaknya duduk di teras, membuka jas hujannya, dan memulai pembicaraan.
"Apa yang kamu lakukan tadi nak "
"Aku bermain hujan"
"Bagaimana rasanya'
"Sangat menyenangkan, ada suara tis tis tis di baju hujanku"
"Dari mana hujan berasal nak'"
"Dari langit bu"
"Siapa pencipta hujan"
"Allah"
"Mengapa hujan bisa jatuh ke bawah"
"Karena benda yang dari atas, turunnya selalu ke bawah"
"Apa rasanya hujan nak"
"Dingin, tapi menyegarkan"
"Mengapa ibu menyuruh kamu menggunakan penutup kepala"
"Supaya tidak sakit ya bu"
"Betul, karena perbedaan suhu dari tubuh dan hujan bisa membuka pembuluh darah di kepala , shingga bisa menyebabkan pusing, ibu tidak melarang ade bermain hujan, tapi tutuplah kepalamu"
"Aku rasa aku sudah cukup main hujannya, sekarang aku mau makan ya bu"

oo00oo

Sang ibu kembali beraktivitas, menatap dua bak pakaian kotor yang siap dicuci, namun pandangan beralih ke jemuran yang masih tersangkut beberapa pakaian dua hari lalu yang belum juga kering. Bingung..... namun kembali teringat, lakukan yang mesti dilakukan, tidak perlu berkeluh karena semua akan ada jalan.

Waktu sudah menunjukkan pukul 10 pagi, matahari masih enggan keluar dari peraduannya, seolah nyaman berselimutkan awan gelap. Rintik hujan sudah terhenti , namun udara dingin masih meniup .
Ya, sudahlah, kita gantung saja pakaian-pakaian ini, biarkanlah waktu yang akan mengeringkannya. 

Dan sang istri, si ibu tersenyum, puas dengan apa yang telah dilakukannya sepagi ini. Kini tinggal bersujud menghatur doa, seiring tetesan satu persatu air yang masih tercurah.




Bogor, November 1, 2011
Tersenyum diantara derai hujan 

Friday, October 28, 2011

[Rumah Kenangan] Persinggahan Dengan Sejuta Kenangan

[Rumah Kenangan] Persinggahan Dengan Sejuta Kenangan

Eva Syamsudin


Rumah, selayaknya adalah tempat berteduh

Bagi manusia yang berjuang dalam peluh

Membangun cinta, hidup dalam kasih

Menata diri, merangkak dan menuai benih

Perjuangan….

Wujud dari sebuah harapan …

Bersama,

Teriring ikhtiar, tawakal dan doa,

 

 

Serpong, 2002-2005

Boss kecil di rumah Serpong

Tiga tahun kami menempati rumah mungil itu, 72/98m2, 2 kamar tidur, 1 kamar mandi, ruang tengah yang sengaja kami luruskan sampai belakang, dapur, serta tempat cuci dan jemur di bagian belakang. Sedikit taman kecil di depan kami sisakan untuk tempat kami bersenda dikala lelah.

Banyak kisah yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga kami di rumah kecil itu. Suka, duka, kepedihan, kegelisahan, kebahagiaan, kecemburuan, kekhawatiran dan beribu perasaan lain yang mengiringi keseharian kami. Itulah sebuah perjalanan…

Rutinitas harus mempercayakan Putri hanya kepada dua orang asisten di pagi hari, tiada sanak saudara, hanya bermodal harapan pertolongan dari tetangga jika ternyata ada sesuatu yang terjadi kepada keluarga kami. Pasrah, dengan keyakinan bahwa hanya kepada Allah kami memohon perlindungan. Tak jarang aku berjalan dengan meneteskan air mata teriring suara tangisan Putri di kejauhan. Kenangan terberat bagi setiap ibu .

Lalu lahirlah Ghifari, kemudian Maisaan, menambah kesemarakan dan keramaian rumah kami. Rumah kecil itu sudah tidak mampu menampung 7 kepala di dalamnya. Sementara kami selalu kebingungan setiap orangtua kami datang, diantara kegembiraan mendapat kunjungan, ada kesedihan karena kami tidak dapat memberikan pelayanan terbaik bagi mereka. Kala mereka ingin menginap, maka kami harus menyulap ruang tengah menjadi kamar tidur bersama, tidur di bawah dengan suara kipas angin menderu yang tidak dapat mengurangi panasnya malam udara Serpong. Walau mereka berkata tidak mengapa, tetap ada rasa bersalah karena tidak bisa memberikan yang terbaik bagi mereka.

Kondisi kamar kami lebih parah, tempat tidur besar berisi aku, putri dan maisaan yang masih bayi, di bawah terdapat dua kasur ukuran single membentang berlainan arah untuk Suami dan Ghi. Dua lemari besar berada di sisi lain bersebrangan dengan tempat tidur. Kamar yang tidak luas itu sudah tidak layak disebut tempat istirahat, terlalu banyak isi dibanding wadah.

Kamar lainnya pun begitu, berisi tempat tidur tingkat untuk kedua pembantu kami, dua lemari kecil serta meja setrika yang semakin menjadikan kamar berukuran kecil itu semakin terlihat kecil. Tapi hanya itu kemampuan kami, harus menerima apa adanya, seraya memikirkan langkah ke depannya.

Sampai akhirnya kami harus memutuskan bahwa kehidupan ini harus berubah. Kami harus pindah…

Kami mulai merencanakan, menghitung, berdiskusi, mencari, dan segenap usaha dilakukan untuk mewujudkan impian kami, rumah baru dengan kondisi yang layak. Pada akhirnya, dengan pertimbangan yang sangat matang, kami memutuskan akan pindah ke Bogor .

Selamat tinggal Amarapura, selamat tinggal kenangan indah rumah kecil kami…

 

Destarata, 2005-2006

 


Dalam masa pembangunan bakal rumah kami di Bogor, kami mendapatkan begitu banyak kemudahan dari Allah. Rencana untuk menyewa rumah sementara, terbantukan dengan tawaran menempati rumah kosong milik sahabat dari kakak. Rumah besar di komplek perumahan elite tidak jauh dari lokasi perumahan kami. Biaya sewa yang kami anggarkan, akhirnya kami pergunakan untuk mengecat ulang rumah singgah ini dan membeli beberapa perlengkapan rumah.

Rumah Destarata ini memiliki luas sekitar 150m2, terdiri dari 3 kamar tidur dan 1 kamar pembantu, 2 kamar mandi, ruang tamu, ruang keluarga yang besar, dapur, dan garasi cukup untuk 2 kendaraan.  Kondisi rumah itu sebetulnya sudah kurang layak, rumah asli dari developer yang belum sempat diperbaiki. Banyak titik-titik kebocoran dari atap, dan kami hanya mampu membenahi seadanya, setidaknya kami bertahan dengan apa adanya kondisi rumah ini. Antisipasi kami hanya menyiapkan  bak dan ember di beberapa titik bocor tersebut di kala hujan.  

Sepuluh bulan kami menempati rumah ini, cukup singkat namun begitu banyak kenangan kami dapati disini. Disini, kami memahami arti Qadarallah, bahwa sehebat apapun kami menghindar, jika Allah berkata jadi, maka jadilah, jika Allah berkehendak mengambil apa yang menjadi milikNya, maka tiada kuasa kita sebagai manusia untuk menyesalinya.

Disini, aku kedapatan hamil walau kondisi sedang menggunakan alat kontrasepsi, pada awalnya kami cemas dengan kondisi ini, namun kami segera sadar bahwa anak adalah rizki,  kami bersuka cita atasnya.

Disini, kami tertatih-tatih mengumpulkan uang untuk pembangunan rumah kami, mengatur rizki yang ada sehingga bisa memenuhi semua kebutuhan.

Disini, kami menerima makna kehilangan, saat bayi dalam kandunganku ternyata meninggal diusia 4 bulan. Aku harus menjalani curratage, pemeriksaan berulang kali untuk mengetahui lokasi IUD yang tertinggal, dan akhirnya harus menjalani operasi pengangkatan  IUD yang ternyata berada di dalam rongga perut.

Disini, kami belajar makna sabar, menghadapi asisten yang berulang kali melakukan salah, berbuat sekehendaknya, pergi tanpa pamit dan membiarkan kami dalam masalah baru.

Disini, kami mengenal hidup sehat, belajar makna RUM (Rational Using of Medicine), berkat Dr.Eka yang membuka pola pikir kami akan makna sehat.

Disini, kami mulai mendalami kehidupan religi kami, belajar lebih dalam tentang Aqidah, Ibadah, fiqih, membenahi kekosongan dan keraguan jiwa dengan lebih mendekatkan diri pada Illahi.

Disini, aku melihat perkembangan anak-anak dengan lebih jelas, melihat mereka tertawa, bermain dalam kebebasan. Sakit pertama Ghi, langkah pertama Ican, gigi tanggal pertamanya Putri, dan perkembangan lainnya.

Sepuluh bulan yang singkat, menjadi jembatan bagi kami menuju rumah impian kami, yang akan membuka lembaran baru diri kami, dengan kisah baru, perjalanan baru, tantangan baru, dan akhirnya anak baru… J

 

Tasmania, 2006

Rumah Tasmania, saat pembangunan 2006


Bismillah, dengan berlindung kepada Allah Subhanallahuwatta’ala, kami akhirnya menempati rumah baru kami, rumah yang akan menemani kami dan anak-anak mengarungi perjalanan baru.

Rumah ini akan memberi kenangan baru bagi kami, hari demi hari, tantangan demi tantangan, dalam perbaikan jiwa dan raga, berusaha menjadi manusia yang selalu dalam RahmatNya.


Masa lalu adalah kenangan,

Proses pembelajaran,

Masa pendewasaan,

Waktu pemikiran,

Melewati tantangan,

Berat menjadi ringan,

Bersama…..

Dalam sebuah Rumah Tangga.

 

Diikutkan dalam lomba Rumah Kenangan yang diadakan oleh Mba Intan.

Wednesday, October 26, 2011

[ Bongkar file ] Photo studio

Waktu hanya punya Putri, kami sering sekali foto studio, kadang aku sama putri aja, atau kalau bapaknya lagi mau, ya ikutan juga. Terkadang juga kalau lagi jalan bertiga, ada photo box, langsung deh kita masuk dan gaya2 aneh di situ. Sayangnya, tadi bongkar2 di file komputer, ga nemu euy photo studio yang hanya aku ama putri, ya udah deh pass aja




Tuesday, October 25, 2011

Waktu


Malu... itu mungkin satu kata yang bisa menggambarkan betapa lalainya diri ini terhadap suatu komitmen abadi. Komitmen berupa dua kalimat syahadat yang harusnya dijalani dengan sepenuhnya dan paham dengan konsekwensi atas dua kalimat Illahi tersebut.

Sadar, begitu sadar bahwa banyak sekali waktu yang terbuang karena satu sifat bernama malas.
Mengatasnamakan kesibukan, kelemahan, keterbatasan, maka semua niat yang seharusnya mulia akan terlewatkan terhembus oleh detak jam yang bergerak semakin cepat.

Satu menit.... 
   Satu jam....
      Satu hari...
         Satu minggu... 
            Satu bulan.... 
               Satu tahun ...  

Waktu berlalu dengan konstan, mengurangi jatah sisa hidup di dunia.

Seharusnya waktu yang semakin pendek itu dapat menguatkan kita untuk semakin keras berlomba mencari bekal . Niat yang sudah dicanangkan seharusnya dapat dilaksanakan dengan mengingat adanya kematian. 

Namun sekali lagi.... iman begitu mudah tergoyah, hembusan nafas sang syaitan lebih terasa nyaman, melelapkan diri di malam yang tersisa. Maksiat yang berkelliaran berebut meminta jatahnya untuk diperhatikan. Tawaran-tawaran pekerjaan  yang tak jelas semakin mendesak dan meminta diri mengalihkan dari pemikiran halal dan haram. Rasa benci, marah, emosi, dendam, semua begitu mudah terpicu oleh sekedar jentikan tangan. 

Lemah... begitu lemah nyatanya diri ini . 
Hanya mampu berusaha untuk tetap berada di jalan kebenaran, berusaha sekuat mungkin untuk tetap berpegang pada ajaranNya yang Haq. Harus... harus bisa.....
Hingga waktu yang terlewati tidak sia-sia, dan menjadi tetesan air mata..

Tolong aku ya Allah....


Bogor, Oktober 2011
Sekedar pengingat diri 

Sunday, October 16, 2011

Sekedar diri ini

Bila ditanyakan apakah lelah menjadi seorang perempuan tanpa asisten sama sekali dengan anak yang lumayan banyak, maka dengan cepat saya akan berkata, sangat lelah.

Bila ditanyakan apakah bosan menjalani kehidupan yang sangat terbatas oleh ruang bernama rumah dan ketidakbisaan bebas seperti saat dulu masih bekerja, maka saya akan berkata dengan sedikit berpikir, yaaaa mungkin sedikit bosan.

Bila ditanyakan apakah menyesal dengan segala keputusan, meninggalkan pekerjaan, yang berarti meninggalkan begitu banyak nikmat dunia (walau tetap berkonsekwensi)  untuk menjadi hanya sebagai perempuan rumahan yang benar-benar mengandalkan suami sebagai pencari nafkah,  maka dengan sangat tegas saya berkata tidak pernah ada rasa sesal.

Terkadang terucap oleh keluarga besar tatkala melihat saya sedang berjibaku dengan setumpuk yaaa kadang beberapa tumpuk pakaian kotor dan disisi lain ruang, bertumpuk-tumpuk pula pakaian bersih yang harus dirapikan ... 

Kemana pendidikan yang kamu pelajari sejak kecil jika hanya berakhir di ruang cuci setrika..
Kemana semua argumen yang biasa kamu kuasai dalam berdebat jika hanya berakhir di dalam rumah,
Kemana semua sifat dirimu yang biasa bersenang-senang jika hanya akan kamu habiskan dalam kesendirian ...

Apa iya saya merasa tersia-sia ? Apa iya saya merasa terkukung dan tidak bahagia ?  
Maka jawabnya adalah tidak, saya baik baik saja ..

Tidak saya pungkiri bahwa saat awal perubahan itu saya agak sedih dengan apa yang terjadi, perubahan perekonomian secara drastis, perubahan pola hidup yang harus diatur sedemikian rupa, pengertian tiada henti kepada anak-anak tentang kondisi kami, semua itu sedikit banyak menjatuhkan air mata di saat-saat kelemahan saya. 

Namun waktu berlalu, kekuatan datang dari berbagai jalan, sahabat yang begitu pengertian baik dari dunia maya ataupun nyata, teman-teman senasib yang sedang berjuang atas nama keyakinan dan ketakwaan, dan tak lupa dari mata yang terbuka dengan melihat sekitar, kenyataan bahwa masih begitu banyak yang memiliki masalah lebih dari apa yang saya alami. 
Dan tatkala kisah-kisah perjuangan menggulirkan air mata kekaguman, saya bangkit dan menata senyum untuk keluarga, untuk mereka yang kepadanya saya serahkan cinta karena Allah, karena saya yakin, semua kekuatan itu berasal dari kepasrahan dan cinta kepada NYA.

Dan kini, 
setiap air yang terperas adalah tetesan syukur kepada Nya
setiap alunan tangan di atas pakaian itu adalah ucapan dzikir padaNya
Mensugesti diri bahwa ada pahala di akhir sana
menyakini diri bahwa ada keridhaanNya atas segalanya
Menyemangati diri bahwa ada syurga yang menanti disana

Sabar... hanya sabar yang kami punya, karena tiada ada yang bisa menguatkan diri yang lemah ini selain cintaNya.

Beberapa waktu lalu , di salah satu group FB (sunni homeschooling), ada seorang ummahat yang bertanya tentang pembagian waktu sebagai ibu RT tanpa asisten, apakah bisa mengatur itu semua plus anak yang HS. Lalu saya berpikir, sejujurnya semua bisa dilaksanakan dengan baik, hanya terkadang kemalasan dan sedikit kelelahan fisik yang membuat kita lengah dan jenuh . Yaaa memang bila ada yang membantu mungkin kita bisa sedikit menghemat tenaga, tapi bilapun tidak memungkinkan, semua bisa berjalan baik-baik saja kok.

Ritme keseharian sudah dikuasai, pagi menyiapkan anak-anak sekolah, membuat sarapan dan bekal mereka, di waktu bersamaan merendam pakaian dan memutar mesin cuci. Anak-anak berangkat, mulai konsentrasi pada cucian hingga selesai, diselingi dengan mencuci piring dan menyapu + mengepel lantai. Biasanya jam 9 smua sudah selesai, instruksi supaya fadhl mandi dan menyiapkan diri untuk belajar dan bermain. Dilanjut dengan shalat dhuha dan sedikit membaca buku agama. Selesai sudah tugas sementara..
Acara santai, mulai bermain dengan fadhl dan mengajarkan sedikit banyak hal, mulai membuka HP dan sedikit bersosialisasi, dan tak jarang kami bermain komputer atau menyaksikan disney jr atau acara apapun seraya bermain.
siang, satu persatu ananda pulang , kami mecoba untuk tidur siang, kalaupun tidak, bermain komputer atau apapun kegiatan lainnya , oh ya acara menyetrika bila tidak dilanda kemalasan.
Sore hari mulai sibuk kembali dengan menyiapkan makan malam dan menyiapkan anak-anak untuk mandi . Beres sudah.... tidak begitu sibuk bukan...

Ya, ternyata setelah dijalani, semua bisa berlangsung baik-baik saja, memang harus berkorban tenaga, tapi selama dijalani dengan santai, maka semua bisa terlewati dengan baik. 

Kalau masalah bosan, ya kita yang atur diri kita sendiri, terkadang berjalan berdua fadhl (dg ijin suami tentu saja) walau sekedar keliling naik angkot atau sedikit makan di tempat yang memiliki playground. Melihat sekitar, menertawakan tingkah laku fadhl, bersyukur atas nikmat yang masih bisa didapat. Lalu semua tenang... dan kami kembali ke rumah, dengan suasana baru, dan tentu saja semangat baru.

Mari terus semangat.... 
Ada amanah yang kita emban
Ada pertanggung jawaban yang harus kita susun
Tawakal, sabar dan yakin
Allah selalu bersama umatNya ...

bogor, oktober 2011

Ummu Ghifari